Jujur saja, waktu pertama kali baca berita soal pajak sosial media, reaksi saya itu campur aduk. Antara mau ngakak, geleng-geleng, tapi juga penasaran. Saya pikir, “Loh, ini beneran? Kirain selama ini pajak cuma buat gaji, properti, sama bisnis fisik aja.”
Ternyata, pemerintah Indonesia memang sudah mulai serius menata ekonomi digital, dan salah satunya ya lewat pajak sosial media.
Buat yang belum ngeh, pajak sosial media itu sederhananya adalah kewajiban bayar pajak untuk penghasilan yang didapat lewat platform digital—Instagram, YouTube, TikTok, Facebook, bahkan Twitter (X) juga masuk. Jadi, kalau kamu influencer, content creator, atau bahkan jualan lewat IG, ya siap-siap ada hitungan pajaknya.
Apa itu Pajak Sosial Media?
Secara teknis news, pajak sosial media adalah bagian dari pajak penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterapkan pada transaksi dan pendapatan yang berasal dari platform digital. Jadi ini bukan pajak “baru” yang namanya beda, tapi penyesuaian dari aturan lama biar sesuai sama perkembangan zaman Kumparan.
Kalau dulu pajak diidentikkan sama toko fisik, sekarang pemerintah sadar, “Eh, duit gede itu udah banyak beredar di dunia maya.” Data Kementerian Keuangan bahkan nyebutin kalau industri digital di Indonesia punya nilai transaksi lebih dari Rp1.000 triliun per tahun. Bayangin aja, kalau sebagian itu bisa masuk ke kas negara, banyak program yang bisa dibiayai.
Makanya, target pajak sosial media ini bukan cuma influencer dengan jutaan followers, tapi juga pebisnis online, streamer, dan bahkan yang dapat endorsement kecil-kecilan. Selama ada uang yang mengalir dan jumlahnya memenuhi syarat pajak, ya kena.
Mengapa Pemerintah Indonesia Membuat Aturan Pajak Sosial Media?
Nah, ini bagian yang bikin saya nyengir sedikit. Karena alasan pemerintah itu memang ada logikanya, walaupun tetap menuai protes.
Meningkatkan Pendapatan Negara
Anggaran negara itu mirip dompet rumah tangga. Kalau pengeluaran gede tapi pemasukan stagnan, ya harus cari sumber tambahan. Pajak digital dianggap solusi karena pertumbuhan bisnis online pesat banget.Keadilan Pajak
Pemerintah bilang, semua yang punya penghasilan wajib bayar pajak, nggak peduli sumbernya dari mana. Kalau pengusaha konvensional kena pajak, kenapa influencer yang dapat ratusan juta per bulan dari TikTok nggak?Pengawasan Ekonomi Digital
Banyak transaksi online yang selama ini luput dari pantauan. Dengan aturan pajak, pemerintah bisa lebih mudah memetakan perputaran uang di dunia maya.Adaptasi Tren Global
Negara-negara lain seperti Australia, Inggris, dan Singapura sudah punya aturan pajak digital. Indonesia nggak mau ketinggalan.
Kalau dari sisi teori sih, ini masuk akal. Tapi, realitanya di lapangan nggak selalu semulus itu.
Tanggapan Netizen Terhadap Pajak Sosial Media
Nah, ini bagian yang rame banget di dunia maya. Sejak berita ini viral, komentar netizen di Twitter/X dan TikTok itu bener-bener pecah. Ada yang setuju, ada yang protes habis-habisan.
Yang setuju biasanya bilang:
“Ya wajar dong, penghasilan gede harus bagi ke negara.”
“Biar adil, semua kena pajak, bukan cuma karyawan kantor.”
Yang protes biasanya bilang:
“Pemerintah cuma tau narik pajak, pelayanan publik masih gitu-gitu aja.”
“Udah susah bikin konten, masih juga dipajakin.”
“Nanti kreator kecil-kecilan malah mati sebelum berkembang.”
Saya sendiri pernah ngobrol sama teman yang jualan skincare lewat Instagram. Dia bilang, bukan masalah bayar pajak, tapi proses administrasinya ribet banget. Harus daftar NPWP, lapor SPT, belum lagi kalau ada salah hitung. Akhirnya banyak yang nyari “jalan ninja” biar nggak ketahuan.
Kerugian dari Pajak Sosial Media
Biar adil, kita juga harus ngomongin sisi negatifnya. Dari pengalaman ngobrol sama pelaku usaha online dan sesama kreator, ada beberapa hal yang mereka khawatirkan:
Beban Tambahan Buat Kreator Kecil
Kalau penghasilan masih pas-pasan, bayar pajak bisa bikin modal konten jadi seret.Peningkatan Harga Jual Produk/Jasa
Penjual online mungkin akan naikin harga buat nutupin pajak, ujung-ujungnya pembeli yang kena imbas.Potensi Kreator Kabur ke Platform Luar Negeri
Ada kemungkinan kreator besar pindah operasi ke negara lain yang aturannya lebih longgar.Administrasi Ribet
Jujur, sistem pajak di Indonesia masih terkesan menakutkan buat orang awam. Banyak istilah teknis yang bikin pusing.
Kebijakan Pemerintah yang Menuai Kontroversi
Pajak sosial media ini masuk daftar kebijakan yang bikin panas dingin di dunia maya. Sebagian orang menganggapnya langkah positif untuk kemandirian ekonomi negara. Tapi banyak juga yang bilang, pemerintah terlalu fokus “memeras” sektor yang lagi tumbuh, tanpa memberi insentif atau pelatihan pajak buat kreator.
Saya sempat baca komentar seorang ekonom di berita, katanya: “Kalau mau pajak digital berhasil, jangan cuma narik, tapi juga kasih edukasi, pembinaan, dan sistem yang gampang.” Dan saya 100% setuju.
Karena kalau cuma asal tarik, yang ada orang makin kreatif cari celah buat ngindar. Apalagi netizen Indonesia itu jago banget kalau urusan akal-akalan.
Pelajaran yang Saya Petik
Dari semua obrolan, debat di media sosial, dan baca berita, saya belajar bahwa pajak sosial media ini memang nggak akan memuaskan semua pihak. Tapi satu hal yang pasti: dunia digital itu udah jadi bagian besar dari ekonomi kita, dan cepat atau lambat, ya akan tersentuh pajak.
Kalau saya pribadi, tipsnya:
Pelajari aturan pajak sedini mungkin kalau mau serius jadi kreator atau pebisnis online.
Pisahkan rekening pribadi dan bisnis biar gampang nyatet pemasukan.
Gunakan jasa konsultan pajak kalau memang ribet, apalagi kalau pendapatan sudah lumayan besar.
Manfaatkan potongan dan insentif yang sebenarnya ada di sistem pajak, cuma banyak yang nggak tau
Contoh Hitungan Pajak Sosial Media
Banyak orang yang kaget saat tahu nominal pajak yang harus dibayar. Saya kasih contoh sederhana biar kebayang.
Misalnya:
Seorang kreator TikTok dapat penghasilan Rp10 juta per bulan dari endorse dan live streaming.
Dalam setahun berarti penghasilannya Rp120 juta.
Kalau dia sudah punya NPWP dan termasuk PPh Orang Pribadi, tarifnya:
Penghasilan Kena Pajak (setelah pengurangan PTKP) dikenakan tarif mulai dari 5% untuk lapisan pertama sampai 35% untuk yang sangat besar.
Kalau PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) single itu sekitar Rp54 juta setahun, berarti yang kena pajak:
Rp120 juta – Rp54 juta = Rp66 juta
Tarif 5% dari Rp66 juta = Rp3,3 juta setahun.
Kalau dibagi 12 bulan, itu sekitar Rp275 ribu per bulan.
Sekilas kecil, tapi kalau kreator ini punya pengeluaran produksi konten, biaya admin platform, dan ongkos internet, lumayan juga terasa.
Nah, buat yang penghasilannya ratusan juta atau miliaran, jelas angka pajaknya jauh lebih besar. Itu kenapa kreator besar sering kali punya tim khusus buat urus pajak, biar nggak pusing.
Masalah Lain: Platform Luar Negeri
Yang bikin rumit, banyak transaksi sosial media itu lewat platform luar negeri. Misalnya YouTube bayar kreator pakai dolar, atau brand luar negeri kirim fee langsung ke rekening bank internasional.
Kadang, pembayaran ini udah kena pajak di luar negeri, tapi di Indonesia tetap diminta lapor dan bayar.
Ini bikin beberapa kreator ngomel: “Duitnya udah kepotong di sana, kok masih harus dipotong di sini?”
Padahal ada perjanjian tax treaty antar negara, tapi banyak kreator nggak ngerti prosedurnya, jadi malah bayar dobel.
Kalau nggak paham, ya ujung-ujungnya rugi sendiri.
Bagaimana Seharusnya Pemerintah Mengelola Pajak Sosial Media
Menurut saya, kuncinya ada di pendekatan edukasi dan fasilitas.
Kalau pemerintah mau pajak sosial media diterima, harusnya:
Kasih Edukasi Pajak Gratis untuk Kreator
Webinar, workshop, atau bahkan modul interaktif di media sosial resmi pemerintah.
Biar nggak cuma berita pajak yang viral, tapi juga caranya.Sistem Pelaporan yang Sederhana
Kalau bisa cukup lewat aplikasi, input nominal penghasilan, potongan otomatis, dan selesai. Nggak perlu ribet isi ratusan kolom.Insentif untuk Kreator Baru
Misalnya, kreator dengan penghasilan di bawah Rp100 juta setahun bebas pajak selama 1-2 tahun pertama, biar bisa berkembang dulu.Kolaborasi dengan Platform
Jadi, pajak bisa langsung dipotong di sumber (seperti potongan PPN di e-commerce), dan kreator nggak perlu ribet.
Kalau begini, saya rasa protes netizen bakal berkurang, karena mereka merasa dibantu, bukan sekadar ditarik.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Timothy Ronald Kritik Gym: Pengalaman dan Perspektif yang Bikin Pikir Ulang soal Gym disini