Jujur ya, waktu pertama kali denger soal The Witcher, saya mikir, “Paling kayak serial fantasi lainnya… banyak pedang, monster, dan dunia yang ribet banget diikutin.” Tapi ternyata saya salah besar.
Movie The Witcher adalah serial fantasi dari Netflix yang diangkat dari buku karangan Andrzej Sapkowski. Nah, kalau kamu pernah main game-nya juga, pasti udah familiar sama tokoh utamanya: Geralt of Rivia. Dia seorang pemburu monster, atau biasa disebut witcher, yang hidup di dunia yang kelam dan penuh intrik politik, sihir, dan tentu saja, makhluk-makhluk aneh dari segala bentuk dan ukuran.
Ceritanya ngikutin tiga jalur utama:
Geralt, si witcher, yang kelihatan dingin tapi punya hati juga.
Yennefer, seorang penyihir dengan masa lalu kelam dan ambisi besar.
Ciri, putri dari kerajaan Cintra yang ditakdirkan punya hubungan kuat dengan Geralt.
Yang bikin menarik, timeline-nya acak-acakan. Saya sempat kebingungan di awal, karena adegannya kayak lompat-lompat waktu. Tapi setelah episode ke-3, baru kerasa semua mulai terhubung. Jadi jangan nyerah dulu kalau nonton awalnya terasa bikin pusing, karena trust me, payoff-nya worth it banget.
Buat saya pribadi, sinopsis The Witcher enggak cukup dijelaskan sebagai “cerita tentang pemburu monster.” Ini lebih dari itu. Ini kisah tentang nasib, pilihan, dan hubungan antar manusia yang kompleks – bahkan ketika manusianya kadang separuh elf atau penyihir dengan kekuatan gila.
Kenapa The Witcher Bisa Viral Banget?
Kalau kamu buka media sosial, pasti minimal pernah lihat meme “Toss a Coin to Your Witcher…” ya kan? Lagu ini jadi viral banget saat musim pertamanya rilis. Tapi sebenarnya, bukan cuma karena lagu catchy itu aja lho The Witcher bisa meledak di pasaran Quora.
Pertama, Netflix tahu betul cara pasarkan sesuatu. Mereka keluarin trailer sinematik yang keren, dibintangi Henry Cavill – yang sebelumnya udah ngetop sebagai Superman. Otomatis, fans superhero pun ikutan penasaran.
Kedua, The Witcher datang di momen yang pas. Setelah Game of Thrones tamat dengan ending yang… yah, kontroversial, banyak penggemar fantasi haus akan dunia baru yang bisa mereka selami. The Witcher hadir jadi semacam pelipur lara.
Ketiga, dari segi cerita dan setting, serial ini punya nuansa Eropa Timur yang kental. Gelap, dingin, tapi juga magis. Buat saya pribadi, ini beda dari fantasi ala Hollywood kebanyakan. Rasanya kayak nonton dongeng versi kelam yang cocok untuk orang dewasa.
Dan yang enggak kalah penting: komunitas fanbase-nya gede banget. Ada yang datang dari bukunya, ada yang dari game-nya (salah satu RPG terbaik sepanjang masa), dan ada juga yang baru kenal dari serialnya. Kombinasi tiga generasi fans ini bikin The Witcher viral di berbagai platform.
Keseruan Nonton The Witcher – Nggak Bisa Berhenti
Saya tuh tipikal orang yang kalau nonton, harus “klik” dulu di episode awal. Kalau enggak, ya biasanya tinggalin. Tapi The Witcher ini beda. Meskipun sempat bingung sama timeline-nya, saya tetap lanjut karena atmosfernya keren banget.
Yang bikin seru, tiap episodenya punya monster of the week vibe. Kadang Geralt harus ngelawan makhluk yang bisa berubah bentuk, kadang harus berurusan sama manusia yang lebih jahat dari monsternya sendiri. Dan jujur aja, banyak banget plot twist yang bikin saya nganga.
Apalagi kalau udah masuk ke bagian Yennefer. Waduh, karakter ini benar-benar bikin emosional naik turun. Dia bukan penyihir biasa. Ceritanya soal dia lahir cacat, diremehkan, tapi punya ambisi besar. Transformasinya luar biasa dan bikin saya kadang salut, kadang gemas.
Keseruan lainnya? Koreografi pertarungannya. Serius, pertarungan pedang di episode pertama itu… juara banget! Geralt bener-bener digambarkan sebagai pembunuh yang efisien dan mematikan, tapi tetap ada kode etiknya. Dia bukan pembunuh sadis, dia punya prinsip.
Dan jangan lupakan humor sarkastik yang kadang muncul lewat karakter Jaskier, si penyair cerewet yang jadi teman (atau mungkin beban?) Geralt. Mereka berdua punya dinamika yang unik dan lucu.
Karakter Menarik yang Bikin Betah Nonton
Kalau boleh jujur, The Witcher bukan cuma soal Geralt doang. Justru daya tariknya ada pada keragaman karakter yang semuanya punya motivasi kuat.
Geralt of Rivia – si tokoh utama. Dingin, pendiam, tapi sebenernya emosional juga. Saya suka banget bagaimana Henry Cavill memerankannya. Geralt tuh bukan pahlawan putih bersih, tapi lebih ke anti-hero. Kadang dia ngebunuh, tapi juga bisa menunjukkan belas kasih yang tulus.
Yennefer of Vengerberg – awalnya saya agak skeptis sama dia. Tapi makin lama makin suka. Perjalanan dia dari perempuan cacat ke penyihir paling kuat itu emosional banget. Dia pintar, manipulatif, dan ambisius, tapi juga rapuh dalam hal cinta dan pengakuan.
Ciri (Cirilla) – anak muda yang punya kekuatan besar. Awalnya agak pasif, tapi lama-lama dia berkembang jadi tokoh yang kuat. Saya pribadi suka lihat hubungan ayah-anak yang mulai terbentuk antara dia dan Geralt.
Jaskier – si penyair tukang nyanyi. Ini karakter yang entah kenapa saya tunggu-tunggu tiap episodenya. Lucu, cerewet, tapi juga setia. Lagu “Toss a Coin to Your Witcher” itu ciptaannya, dan seketika jadi anthem fans!
Dan yang saya suka, tokoh-tokoh kecil pun diberi cukup ruang berkembang. Dari raja-raja, penyihir, elf yang tertindas, hingga para pendeta misterius – semuanya terasa hidup. Dunia The Witcher itu kompleks dan penuh abu-abu. Nggak ada yang 100% baik atau jahat.
Apa yang Dicari dari Serial Ini?
Oke, jadi kenapa saya terus nonton dan bahkan nunggu musim berikutnya? Menurut saya, ada beberapa hal yang bikin The Witcher ini punya replay value tinggi:
Dunia yang kompleks tapi menarik
Dunia The Witcher itu kaya banget. Ada politik, sihir, ras berbeda, konflik antar kerajaan. Kadang saya sampai browsing peta fiksinya cuma buat paham lokasi-lokasinya.Cerita tentang takdir dan pilihan
Ini bukan soal siapa yang lebih kuat. Tapi soal bagaimana tokoh-tokohnya menghadapi takdir dan memilih jalannya. Dan itu relatable banget ke kehidupan nyata.Visual dan sinematografi yang memanjakan mata
Kostum penyihir, lanskap kerajaan Cintra, monster-monsternya – semuanya digarap serius. Saya kadang pause cuma buat lihat detail kostumnya.Emosi dan konflik personal
Bukan cuma tebasan pedang, tapi juga drama internal. Misalnya konflik Yennefer yang haus kekuasaan tapi kesepian, atau Geralt yang ingin sendiri tapi terus ditarik dalam urusan orang lain.
Kalau kamu suka serial yang enggak hitam-putih, penuh dilema moral, dan karakter yang “hidup”, ya ini jawabannya.
Review Jujur Saya tentang The Witcher
Oke, sekarang waktunya saya kasih review jujur ala-ala guru yang doyan nonton fantasi gelap di malam Minggu
Saya kasih skor: 8.5/10 buat musim pertama dan 8/10 buat musim kedua.
Kelebihannya:
Karakter kuat dan akting solid (Henry Cavill benar-benar jadi Geralt!)
Dunia fiksi yang terasa nyata
Pertarungan epik dan efek visual yang keren
Alur cerita yang bikin mikir, bukan cuma nonton doang
Kekurangannya:
Timeline yang bikin bingung di awal
Kadang pacing-nya lambat
Ada beberapa subplot yang terasa kurang penting atau dipanjangin
Tapi jujur aja, saya tetep nunggu musim berikutnya. Meskipun Henry Cavill katanya digantikan Liam Hemsworth untuk musim selanjutnya, saya masih penasaran gimana kelanjutan cerita Ciri dan pertempuran besar yang diisyaratkan di akhir musim.
Dan satu hal yang saya pelajari dari nonton The Witcher: hidup itu bukan soal benar atau salah, tapi soal pilihan dan konsekuensi. Kadang kita ingin netral seperti Geralt, tapi dunia memaksa kita buat ambil posisi.
Penutup
Jadi, kalau kamu belum nonton The Witcher, ya cobain deh. Tapi nontonnya jangan sambil main HP, karena ini serial yang butuh fokus. Tapi sekali klik, bisa-bisa kamu maraton 8 episode tanpa sadar. Dan hati-hati, kamu bisa jadi nyanyi “Toss a coin to your Witcher…” di kamar mand
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Texas Chainsaw 3D: Film Horor yang Bikin Gak Bisa Tidur Semalaman! disini