Menu Sidebar Widget Area

This is an example widget to show how the Menu Sidebar Widget Area looks by default. You can add custom widgets from the widgets in the admin.

Monkey Forest

Saya masih ingat jelas, saat pertama kali melangkah masuk ke Monkey Forest Ubud, udara langsung terasa beda—sejuk, agak lembap, dan penuh suara monyet yang memanggil satu sama lain. Travel Pepohonan raksasa menjulang tinggi, sebagian di antaranya berlumut tebal, bikin suasana kayak masuk ke dunia lain. Jujur, awalnya agak deg-degan. Bukan karena takut sama monyetnya, tapi takut kalau mereka bakal “mengambil” sesuatu dari tas atau saku saya.

Ternyata, memang bener. Baru beberapa langkah, ada seekor monyet yang dengan santainya mendekati turis bule di depan saya, meraih botol minumnya, terus kabur naik pohon. Semua orang ketawa, tapi dari situ saya langsung sadar: di sini, kita tamu, dan mereka tuan rumahnya.

Apa yang Membuat Monkey Forest Populer?

Tiket Monkey Forest Ubud - Harga Promo 2025 di Traveloka

Kalau dipikir-pikir, ada banyak alasan kenapa Monkey Forest ini begitu terkenal. Pertama, lokasinya strategis—pas di jantung Ubud. Kedua, ini bukan cuma tempat wisata, tapi juga kawasan konservasi dan situs spiritual. Ada tiga pura suci di dalamnya, seperti Pura Dalem Agung Padangtegal, yang konon sudah ada sejak abad ke-14 Wikipedia.

Lalu, yang paling obvious, ya tentu saja monyetnya—spesies Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang. Jumlahnya ratusan, dan mereka hidup bebas di area seluas sekitar 12,5 hektar ini. Banyak turis datang bukan cuma buat foto-foto, tapi juga buat lihat interaksi sosial mereka yang lucu sekaligus cerdas. Saya pribadi suka mengamati bagaimana mereka berbagi makanan atau “mengambil” barang dari turis dengan penuh strategi.

Tips Mengunjungi Monkey Forest (Berdasarkan Pengalaman)

Saya belajar beberapa hal penting waktu di sana, dan ini mungkin akan sangat membantu kalau kamu berencana datang:

  1. Jangan bawa makanan di tangan – Mereka bisa mencium dari jauh dan langsung mendekat.

  2. Simpan barang berharga di tas tertutup – Monyet di sini pintar banget buka ritsleting.

  3. Tetap tenang kalau didekati – Jangan teriak atau lari, mereka bisa menganggap itu ancaman.

  4. Datang pagi-pagi – Lebih sepi, cahaya juga bagus buat foto.

  5. Patuhi aturan lokal – Ada petugas yang selalu siap mengingatkan wisatawan.

Waktu itu saya sempat melanggar “aturan tidak tertulis” ini. Saya pegang kamera sambil bawa kantong plastik kecil, eh tiba-tiba ada monyet lompat ke bahu saya. Awalnya kaget, tapi akhirnya malah jadi momen foto paling memorable di perjalanan itu.

Keunikan Wisata Monkey Forest

Yang bikin Monkey Forest beda dari kebanyakan tempat wisata di Bali adalah sensasi “liar tapi aman”-nya. Kita bisa jalan-jalan di jalur setapak yang dikelilingi pepohonan beringin raksasa, sambil lewat di jembatan kayu di atas sungai kecil. Ada beberapa patung batu lumutan yang bikin suasana mistis, apalagi kalau kabut tipis mulai turun.

Selain itu, monyet di sini bukan sekadar hiburan. Mereka bagian dari ekosistem yang dijaga ketat. Ada tim konservasi yang memantau kesehatan populasi dan habitat mereka setiap hari. Bahkan, mereka punya jadwal makan khusus, jadi monyetnya nggak terlalu bergantung sama makanan turis.

Akses Menuju Monkey Forest

Kalau kamu menginap di Ubud, akses ke Monkey Forest super gampang. Dari pusat Ubud, cuma sekitar 10-15 menit jalan kaki. Kalau dari Denpasar atau Kuta, perjalanan naik mobil bisa memakan waktu sekitar 1,5–2 jam tergantung lalu lintas. Banyak juga tur harian yang sudah include tiket masuk ke sini, jadi tinggal duduk manis di mobil.

Harga tiketnya per 2025 sekitar Rp80.000 untuk dewasa, dan Rp60.000 untuk anak-anak. Buka setiap hari dari jam 8 pagi sampai 6 sore, tapi menurut saya waktu terbaik adalah antara jam 8–10 pagi, saat monyet masih aktif dan suasananya belum terlalu ramai.

Cerita Lucu dan Sedikit Drama di Monkey Forest

Nah, kalau ngomongin Monkey Forest, saya punya satu cerita yang sampai sekarang masih bikin saya ketawa sendiri. Waktu itu saya lagi berdiri di dekat jembatan kayu, fokus banget motret seekor monyet yang duduk manis sambil mengunyah buah. Eh, tiba-tiba dari belakang ada monyet lain yang langsung nyambar kacamata hitam saya. Sekejap doang!

Refleks, saya teriak “Hey!”—padahal jelas mereka nggak ngerti bahasa manusia. Kacamata saya langsung dibawa naik ke dahan pohon, sambil diputar-putar kayak mainan baru. Untung ada petugas yang sudah terbiasa sama kejadian kayak gini. Dia ambil sepotong ubi rebus dari kantongnya, lalu menukar kacamatanya dengan makanan itu. Monyetnya setuju, dan kacamata saya kembali dengan selamat. Walau… ada sedikit bekas gigitan di gagangnya.

Dari situ saya sadar, monyet di sini bukan cuma pintar, tapi juga tahu nilai barter. Dan jujur aja, pengalaman kayak gini nggak akan kamu dapat kalau cuma lihat monyet di kebun binatang.

Pelajaran Penting: Hormati Habitat Mereka

New Monkey Forest Opens In Bali For Tourists To Connect With Nature - The  Bali Sun

Banyak orang datang ke Monkey Forest cuma buat foto-foto, tapi lupa kalau ini sebenarnya kawasan konservasi yang punya aturan ketat. Salah satu hal yang paling saya pegang selama di sana adalah: kita ini cuma tamu.

Jangan coba-coba mengelus monyetnya kalau mereka nggak mendekat sendiri. Jangan kasih makanan sembarangan, apalagi yang mengandung gula atau garam. Saya sempat lihat turis asing kasih biskuit manis ke monyet, dan langsung ditegur petugas. Makanan seperti itu bisa bikin mereka sakit.

Saya juga sempat ngobrol sebentar sama seorang pemandu lokal. Dia bilang, populasi monyet di sini dibagi menjadi beberapa kelompok dengan wilayah masing-masing. Kadang antar kelompok bisa terjadi “perang wilayah” kecil. Itu sebabnya, kalau lagi jalan dan lihat dua kelompok monyet mendekat, mending geser ke sisi jalur lain. Biar nggak jadi “pihak ketiga” di tengah konflik.

Momen Favorit: Golden Hour di Tengah Hutan

Ada satu momen yang menurut saya paling magis di Monkey Forest—yaitu saat matahari sore mulai menembus sela-sela dedaunan. Cahaya keemasan jatuh di patung-patung batu berlumut, dan monyet-monyet mulai bergerombol di batang pohon. Suasananya… wah, nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

Waktu itu saya duduk di bangku kayu dekat pura, cuma mendengarkan suara alam: gemericik air sungai, dedaunan bergesekan, dan sesekali suara teriakan monyet kecil yang minta makan. Rasanya damai banget, seperti semua masalah dunia berhenti sebentar.

Banyak fotografer profesional sengaja datang jam-jam seperti ini untuk dapat foto terbaik. Jadi, kalau kamu suka fotografi, saran saya jangan buru-buru pulang sebelum jam 5 sore.

Tips Tambahan untuk Pengalaman Maksimal di Monkey Forest

  1. Gunakan alas kaki yang nyaman – Area ini luas dan jalannya berbatu atau bertangga, jadi sepatu sneakers atau sandal trekking sangat dianjurkan.

  2. Bawa kamera dengan strap – Supaya aman kalau tiba-tiba ada “tamu tak diundang” yang penasaran.

  3. Jangan memakai perhiasan mencolok – Kalung atau anting besar bisa menarik perhatian monyet.

  4. Siapkan uang tunai kecil – Beberapa area punya kotak donasi untuk perawatan habitat.

  5. Manfaatkan pemandu lokal – Mereka bukan cuma tahu spot foto terbaik, tapi juga bisa membantu kalau ada interaksi “ekstra” dengan monyet.

Baca juga artikel menarik lainnya tentang Pengalaman Tak Terlupakan Menjelajahi Kepulauan Alor, Permata di Timur Indonesia disini