Larangan Wisatawan Bali Waktu itu gue lagi scroll-scroll berita di HP sambil ngopi, eh muncul artikel soal “Larangan Wisatawan Bali mancanegara di Bali.” Judulnya cukup clickbait sih, jadi gue langsung klik. Katanya, mulai sekarang ada beberapa aturan baru buat turis asing, bahkan beberapa larangan yang katanya cukup ketat.
Sebagai orang yang udah beberapa kali ke Larangan Wisatawan Bali (ya, walau nggak sering-sering amat), gue langsung penasaran—ini aturan baru tuh buat siapa sih sebenarnya? Emang separah apa sih kelakuan Larangan Wisatawan Bali sampai harus ada larangan segala?
Gue jadi inget kejadian waktu nginap di daerah Canggu. Ada bule, entah dari mana, jalan ke minimarket cuma pakai underwear doang. Sumpah! Orang-orang lokal jelas kaget. Saat itu gue mikir, “Yaelah, masa nggak bisa hormat dikit sih sama budaya lokal?”
Dan ternyata kejadian-kejadian kayak gitu bukan cuma satu dua. Nah, dari sini gue mulai paham kenapa pemerintah setempat mulai ambil langkah lebih serius.
Pertama Kali Dengar Tentang Larangan Wisatawan Bali, Gue Langsung Bingung
Apa Sebenarnya Larangan yang Diberlakukan? Ini Bukan Sekadar Gimmick
Jadi, pemerintah Larangan Wisatawan Bali menetapkan beberapa aturan dan larangan buat Larangan Wisatawan Bali—terutama yang dari luar negeri. Tapi jangan salah, ini bukan berarti mereka nggak welcome, ya. Justru karena ingin menjaga agar pariwisata tetap berjalan sehat, beretika, dan saling menghargai.
Beberapa larangan yang cukup disorot antara lain:
Nggak boleh naik motor tanpa SIM atau helm
Nggak boleh sembarangan berpakaian di tempat umum atau tempat suci
Nggak boleh kerja ilegal atau menyalahgunakan visa turis
Nggak boleh bersikap seenaknya di pura atau tempat sakral
Nggak boleh membuat konten yang merusak citra budaya Bali
Gue bisa bilang, ini bukan larangan yang aneh. Bahkan, sebagai warga negara Indonesia, menurut gue ini sudah seharusnya diberlakukan lebih awal. Bayangin deh, gimana rasanya kalau tempat tinggal lo dijadiin taman bermain orang luar yang nggak tahu aturan.
Pernah Salah Kostum ke Pura: Rasa Malu yang Nggak Akan Gue Ulangin
Gue jadi inget satu pengalaman yang cukup bikin gue malu waktu pertama kali ke Larangan Wisatawan Bali. Gue diajak temen buat ikut upacara ke Pura. Karena gue nggak tahu harus pakai apa, ya gue asal aja pakai celana pendek dan kaos.
Begitu sampai, langsung disambit tatapan tajam. Untung ada ibu-ibu lokal yang baik hati, dia minjemin gue kain buat nutupin kaki. Dia bilang pelan-pelan, “Nak, kalau ke pura pakai sarung ya, ini tempat suci.”
Gue langsung nunduk. Rasanya kayak ditampar halus. Dari situ gue belajar, kalau lo nggak tahu adat setempat, bukan berarti lo bisa semaunya.
Etika vs. Gaya Hidup Digital Nomad: Batasan yang Kadang Kabur
Sekarang tuh lagi tren banget kerja remote, jadi digital nomad. Banyak bule datang ke Larangan Wisatawan Bali bukan cuma buat liburan, tapi kerja sambil santai di pinggir pantai.
Tapi ya itu, nggak semuanya ngerti batasan. Ada yang kerja ilegal tanpa izin, ada yang buka kelas yoga atau healing session di vila tanpa izin usaha. Ada juga yang bikin konten “meditasi telanjang” di tempat umum. Gilaaa!
Gue sempat ngobrol sama pemilik warung kecil di Ubud. Katanya, “Kami nggak marah kalau mereka cari makan di sini. Tapi harus tahu diri juga. Jangan sampai adat kami rusak.”
Itu ngena banget sih. Kadang gaya hidup bebas dan budaya lokal emang bisa tabrakan. Tapi bukan berarti nggak bisa coexist, asal ada niat untuk ngerti dan menghargai, dikutip dari laman resmi Tempo.
Sebagai Turis Domestik, Kita Juga Harus Tahu Diri
Gue jujur aja, kadang malu juga sih. Yang langgar aturan nggak cuma Larangan Wisatawan Bali asing. Kadang kita sendiri, sebagai turis lokal, juga suka ngasal.
Pernah tuh, gue lihat orang Indonesia bawa speaker portable ke pantai. Nyetel lagu keras-keras sambil mabuk. Ngapain coba? Orang lain yang lagi nikmatin senja jadi keganggu.
Terus, yang buang sampah sembarangan, atau naik motor nerobos jalan kecil yang harusnya cuma buat pejalan kaki. Jadi ya, ini larangan bukan cuma buat orang luar. Tapi buat kita semua yang datang ke Larangan Wisatawan Bali.
Larangan Ini Bukan untuk Membatasi, Tapi Menjaga
Kalau lo baca berita, mungkin ada kesan seolah Bali sekarang “nggak ramah” buat turis. Tapi itu salah besar. Larangan Wisatawan Bali tetap welcome kok—asal lo tahu cara bersikap.
Menurut gue pribadi, larangan-larangan itu justru bikin pengalaman liburan makin berkesan. Lo jadi lebih mindful, lebih sadar akan budaya lokal, dan itu bikin liburan lo nggak cuma seru tapi juga bermakna.
Gue pernah nginep di desa wisata di Karangasem. Warganya ramah banget, ngajak gue ikut acara adat dan nyicipin masakan lokal. Tapi sebelumnya, gue dikasih briefing kecil soal etika dan batasan yang perlu dihormati.
Dan gue malah seneng! Karena gue jadi tahu lebih dalam soal budaya Bali, bukan cuma jadi turis yang motret-motret doang.
Tips Praktis Buat Kamu yang Mau ke Bali
Nah, kalau kamu berencana ke Bali dalam waktu dekat, ini beberapa tips praktis dari pengalaman pribadi gue:
Selalu bawa kain sarung – buat jaga-jaga kalau mau masuk pura.
Hormati adat lokal – tanya dulu sebelum motret upacara atau orang lokal.
Jangan asal bikin konten – apalagi yang bisa dianggap melecehkan budaya.
Patuhi aturan lalu lintas – bawa SIM internasional kalau nyewa motor.
Jaga kebersihan – bawa tas sampah sendiri kalau jalan-jalan ke pantai atau gunung.
Hindari diskusi sensitif – kayak soal agama atau spiritualitas, kecuali diminta untuk berdiskusi.
Ngobrol sama warga lokal – mereka paling tahu aturan dan etika setempat. Dan kadang mereka cerita hal-hal yang nggak ada di Google!
Penutup Larangan Wisatawan Bali yang Nggak Formal-Formal Amat
Intinya sih, larangan wisatawan Bali itu bukan buat nakut-nakutin atau bikin liburan jadi nggak asik. Justru, kalau lo ngerti dan patuhin, lo bakal dapet pengalaman yang lebih dalam dan otentik.
Gue pribadi merasa makin cinta sama Larangan Wisatawan Bali setelah ngerti “kenapa” larangan itu dibuat. Bukan karena mau kontrol, tapi karena Bali itu rumah bagi banyak orang. Dan lo nggak dateng ke rumah orang buat bikin ribut, kan?
Jadi, yuk liburan cerdas. Hormatin budaya. Dan pulang bawa cerita, bukan masalah.
Baca Juga Artikel dari: Palace of Culture and Science: Ikon Kota Warsawa yang Megah
Baca Juga dengan Konten yang Terkait Tentang: Travel