Kalau boleh jujur ya, saya baru benar-benar kenal Tari Punan Letto itu sekitar lima tahun lalu. Itu pun bukan dari buku sejarah atau kelas seni Cultured. Tapi dari pengalaman waktu saya ngajar di sebuah sekolah dasar terpencil di Kalimantan Utara. Salah satu murid saya, namanya Tia, anak suku Punan asli, pernah tampil di acara perpisahan dengan menarikan sebuah tarian yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Bukan hanya gerakannya yang bikin saya bengong, tapi ekspresi wajahnya, bajunya yang penuh detail manik, dan iringan musiknya yang terasa seperti datang dari hutan itu sendiri—mistis tapi menenangkan.
Saya tanya ke gurunya waktu itu, “Tarian apa ini, Bu?”
Dan dia jawab dengan bangga, “Itu Tari Punan Letto, Pak.”
Dan sejak saat itu, saya mulai ‘keracunan’—dalam arti positif ya—untuk menggali lebih dalam tentang Tari Punan Letto.
Keindahan yang Sulit Dijelaskan: Gerakan, Musik, dan Makna Simbolik
Tari Punan Letto itu bukan sekadar seni gerak. Ia adalah cerita hidup. Tarian ini berasal dari masyarakat suku Punan, salah satu suku tertua di Kalimantan. Dulu tarian ini hanya dibawakan dalam upacara adat atau saat penyambutan tamu besar Wikipedia.
Apa yang bikin saya kagum? Gerakannya itu luwes tapi kuat. Setiap gerakan tangan, langkah kaki, bahkan anggukan kepala punya makna. Misalnya, gerakan tangan berputar itu melambangkan angin hutan yang membawa pesan dari roh leluhur. Lalu, ketika penari membungkuk sambil mengangkat tangan ke atas, itu katanya tanda penghormatan pada alam.
Busananya pun bukan main detailnya. Ada manik-manik khas suku Punan yang dirangkai sendiri dengan tangan. Warna-warnanya kontras, tapi nggak norak. Musik pengiringnya menggunakan alat tradisional seperti sampe (alat petik khas Dayak), kadang juga diselipkan suara alam—air mengalir, burung bersahutan. Ada sesuatu yang magis dan meditatif di situ. Kalau kamu lagi stres, nonton tarian ini kayak terapi jiwa.
Mengapa Tari Punan Letto Harus Dilestarikan?
Satu hal yang bikin saya sedih waktu ngobrol sama tetua adat di sana: “Pak, anak-anak sekarang lebih tahu TikTok daripada tari tradisional.”
Itu bukan lelucon. Itu realita.
Padahal Tari Punan Letto itu bukan cuma soal tarian. Itu adalah bagian dari identitas, dari sejarah panjang suku Punan yang nomaden, yang menyatu dengan hutan, dan hidup harmonis dengan alam. Bayangkan aja, kalau generasi muda nggak peduli lagi, maka hilanglah satu warisan yang nilainya nggak bisa digantikan.
Melestarikan Tari Punan Letto itu bukan cuma soal bikin pagelaran besar atau lomba. Tapi mulai dari hal kecil—mengajarkannya di sekolah, membuat video edukasi yang mudah diakses, bahkan sekadar menceritakan sejarahnya di blog kayak gini pun bisa jadi langkah awal yang berarti.
Saya sendiri, waktu kembali ke kota, mulai ngajak teman-teman guru buat ngajarin tarian daerah, termasuk Punan Letto, dalam kegiatan ekstrakurikuler. Responsnya luar biasa. Bahkan anak-anak yang awalnya malu-malu, sekarang malah bikin tim kecil untuk tampil di acara kecamatan.
Apa yang Membuat Tari Punan Letto Unik?
Kalau boleh saya bilang, Punan Letto itu bukan cuma unik—tapi langka.
Pertama, dari sisi gaya geraknya. Dia nggak serupa dengan tarian Dayak lainnya. Kalau Tari Giring-Giring atau Hudoq cenderung penuh semangat dan berirama cepat, Punan Letto itu lebih elegan, mengalir seperti air sungai yang tenang tapi dalam. Cocok banget buat yang baru belajar karena nggak perlu loncat-loncat, tapi tetap butuh penguasaan emosi dan ekspresi.
Kedua, dari sisi cerita. Banyak tarian tradisional hanya fokus pada penyambutan atau panen. Tapi Punan Letto bisa punya banyak versi cerita. Ada yang tentang pencarian jati diri, ada yang soal perjuangan hidup, bahkan cinta alam. Saya pernah nonton satu versi yang menceritakan tentang gadis Punan yang bermimpi bertemu roh leluhur di hutan. Indah dan dalam.
Ketiga, dari sisi filosofi. Tari ini mengandung nilai kesetimbangan antara manusia dan alam. Kalau kamu perhatikan, tidak ada gerakan yang mendominasi atau menyakiti. Semuanya serba harmoni. Cocok banget dijadikan media pembelajaran pendidikan karakter dan cinta lingkungan.
Tips Belajar Gerakan Tari Punan Letto (Dari yang Pernah Salah Kaprah)
Oke, ini bagian yang agak memalukan buat saya.
Waktu pertama kali belajar, saya kira gerakannya cuma soal anggun dan lambat. Jadi saya cuma fokus ke tangan dan kaki. Ternyata… salah besar.
Yang saya lewatkan adalah ekspresi wajah dan tarikan napas. Guru tari yang ngajar saya bilang, “Kalau Bapak nggak rasain tarian itu di hati, gerakannya nggak bakal hidup.”
Makjleb.
Jadi buat kamu yang pengin belajar, ini tips dari saya:
Mulai dari memahami cerita. Jangan langsung hafalin gerakan. Tahu dulu latar belakang cerita dari tarian itu. Mau bawa tema apa? Kesedihan? Harapan? Pencarian? Ini penting buat menghidupkan ekspresi.
Latih pernapasan. Gerakan Punan Letto itu menuntut kontrol tubuh yang lembut tapi presisi. Latihan napas bikin kamu nggak gampang ngos-ngosan dan bisa lebih stabil.
Belajar dari video otentik. Jangan asal dari TikTok atau reels. Cari dokumentasi asli dari masyarakat adat. Saya sendiri banyak belajar dari video milik komunitas Dayak Punan.
Latih di ruang yang tenang. Karena tari ini punya elemen spiritual dan meditatif, usahakan latihannya di tempat yang nggak berisik. Saya suka latihan pas pagi hari, pas udara masih sejuk dan pikiran belum keracunan notifikasi HP.
Jangan takut salah. Ini penting. Awal-awal saya sering salah arah, tangan kanan harusnya atas, saya malah bawah. Tapi santai aja, makin sering latihan, makin kerasa sendiri iramanya.
Tari Punan Letto di Mata Dunia
Bicara soal apresiasi global, jujur masih minim banget. Kalau dibandingkan dengan Tari Saman atau Reog Ponorogo, Punan Letto itu masih kalah populer.
Tapi ada secercah harapan.
Tahun lalu saya sempat hadir di sebuah forum budaya yang menghadirkan penari dari berbagai daerah. Ada delegasi dari Jepang, Korea, sampai Brasil. Dan ketika Tari Punan Letto ditampilkan oleh anak-anak dari komunitas Punan, semua penonton langsung hening.
Usai penampilan, saya dengar komentar dari salah satu juri internasional, “That’s not just a dance. That’s a moving poem from the forest.”
Wah, merinding dengarnya.
Beberapa videonya juga mulai muncul di YouTube dengan subtitle Inggris. Ada juga yang mencoba mengadaptasi gerakannya ke dalam tari kontemporer. Ini langkah awal yang bagus. Tapi tetap harus hati-hati supaya esensinya nggak hilang.
Saya pribadi berharap ada lebih banyak kolaborasi budaya. Misalnya, workshop daring antar negara, pertukaran budaya, atau pelatihan tari lintas komunitas. Dunia perlu tahu bahwa kita punya tarian yang bukan hanya indah, tapi juga sarat nilai kehidupan.
Menari untuk Merawat Warisan
Saya sadar, kita hidup di zaman serba cepat dan serba digital. Tapi justru di situlah pentingnya menjaga sesuatu yang “pelan tapi dalam” seperti Tari Punan Letto.
Tarian ini ngajarin saya banyak hal. Tentang kesabaran, tentang menghargai alam, tentang menyampaikan emosi tanpa kata. Kadang saya berpikir, gimana jadinya kalau waktu itu saya nggak nonton Tia menari? Mungkin saya nggak akan pernah tahu bahwa ada tarian seindah ini di tanah air kita sendiri.
Jadi buat kamu yang baca ini, coba deh sekali-sekali nonton atau bahkan belajar Tari Punan Letto. Siapa tahu kamu juga ikut jatuh cinta seperti saya. Dan kalau kamu guru, content creator, atau sekadar penikmat seni—jadilah bagian dari orang-orang yang ikut menjaga agar tari ini nggak menghilang ditelan zaman.
Karena melestarikan budaya itu bukan tugas orang tua adat saja. Tapi tugas kita semua—yang mencintai negeri ini, dari akar sampai angin terakhir yang menari.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Pasambahan: Harmoni Gerakan dan cdalam Tradisi Minangkabau disini